Status Daging Sembelihan di Negeri Non-muslim (Bag. 1)
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala
Pertanyaan:
Tidak samar lagi bagi syaikh bahwa di negeri ahlul kitab pada saat ini bercampur, terdapat berbagai jenis dan agama yang bermacam-macam di negeri tersebut. Oleh karena itu, adanya syubhat (ketidakjelasan atau keraguan) dalam status sembelihan yang disembelih secara tidak syar’i itu sangat kuat (misalnya, karena di negeri Yahudi dan Nasrani tersebut juga banyak terdapat orang atheis, pen.). Lalu apa hukum memakan daging sembelihan di negeri tersebut? Apakah terdapat rincian dalam masalah ini? Kami berharap penjelasan dalam masalah ini, karena hal ini membingungkan kami.
Jawaban:
Dalam sembelihan, dipersyaratkan untuk diketahui (secara yakin) atau berdasarkan sangkaan kuat bahwa orang yang menyembelih termasuk dalam orang halal sembelihannya, yaitu: (1) kaum muslimin, atau (2) ahlul kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dalam kondisi kita ragu apakah orang yang menyembelih itu orang Yahudi dan Nasrani, jika kita memiliki sangkaan kuat bahwa yang menyembelih adalah Yahudi dan Nasrani, maka sembelihan tersebut halal. Namun, jika kita memiliki sangkaan kuat bahwa yang melakukan penyembelihan bukan ahlul kitab, maka sembelihan tersebut haram.
Oleh karena itu, jika kita ragu apakah sembelihan tersebut haram, maka dalam hal ini ada lima kondisi:
Pertama, kita mengetahui (yakin) bahwa orang yang menyembelih adalah ahlul kitab, maka sembelihannya halal.
Ke dua, jika terdapat sangkaan kuat bahwa orang yang menyembelih adalah ahlul kitab, maka sembelihannya halal.
Ke tiga, jika kita benar-benar ragu (tidak bisa memastikan dan tidak memiliki sangkaan kuat, pen.), maka sembelihannya haram.
Ke empat, jika terdapat sangkaan kuat bahwa orang yang menyembelih adalah bukan ahlul kitab, maka sembelihannya haram.
Ke lima, kita mengetahui (yakin) bahwa orang yang menyembelih adalah bukan ahlul kitab, maka sembelihannya haram.
Inilah lima kondisi tentang status sembelihan di negeri non-muslim, statusnya haram dalam tiga keadaan dan halal dalam dua keadaan.
Aku mendengar bahwa di Amerika, mereka menyembelih dengan cara disetrum (terlebih dahulu), akan tetapi mereka bisa memancarkan darah (maksudnya, disembelih) sebelum hewan tersebut mati. Hal ini menyebabkan halalnya sembelihan tersebut, selama mereka bisa menyembelih ketika hewan tersebut masih hidup dan belum mati ketika disembelih [1]. Karena Allah Ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih untuk selain Allah, (binatang yang mati karena) tercekik, dipukul, jatuh dari tempat yang tinggi, atau karena ditanduk (oleh binatang yang lain), dan binatang yang dimangsa oleh binatang buas, kecuali binatang-binatang yang sempat kalian sembelih.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Aku juga mendengar dari sebagian pemuda yang pergi ke sana, bahwa sekarang mereka mulai mengetahui bahwa daging sembelihan itu tidak mungkin bisa menjadi enak kecuali dengan memancarkan (mengeluarkan) darah. Akan tetapi, mereka memancarkan darah dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh kaum muslimin. Para pemuda tersebut berkata bahwa mereka membuat lubang di urat pembuluh darah yang besar. Kemudian, mereka masukkan sesuatu di pembuluh darah yang lain untuk bisa meniup (mendorong) darah agar darah bisa keluar dengan deras di pembuluh darah yang lain. Metode ini pada hakikatnya adalah memancarkan darah namun dengan metode yang lain (berbeda dengan metode kaum muslimin, pen.). Dan bisa jadi suatu hari nanti mereka akan kembali memakai metode menyembelih kaum muslimin, yaitu memotong pembuluh darah di leher sampai darah itu mengalir memancar darinya.
Kesimpulannya, jika tidak jelas bagimu dan Engkau ingin agar makananmu itu makanan yang baik, tidak ada keraguan di dalamnya, maka makanlah ikan [2] (di negeri non-muslim tersebut, pen.). [3]
[Bersambung]
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 20 Sya’ban 1439/ 7 Mei 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Di sini, Syaikh ‘Utsaimin merinci hukum sembelihan binatang yang disembelih dengan metode disetrum terlebih dahulu. Ada dua rincian dalam masalah ini:
Jika setrum tersebut menyebabkan binatang tersebut langsung mati, maka sembelihan tersebut haram dimakan.
Jika setrum tersebut hanya menyebabkan binatang tersebut pingsan saja, masih hidup, kemudian baru disembelih dengan metode syar’i, maka sembelihan tersebut halal. Indikasi binatang tersebut masih hidup ketika disembelih adalah ketika disembelih, darah memancar dengan deras (bukan hanya menetes saja, tanda binatang tersebut sudah mati sebelum disembelih).
[2] Itu pun harus tetap diperhatikan bagaimanakah cara menggorengnya, apakah dengan minyak babi atau dicampur tempat memasaknya (panci atau wajan) dengan tempat memasak babi.
[3] Diterjemahkan dari: I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 89-91 (pertanyaan nomor 120).
🔍 Arti Ijma, Hukum Membaca Surah Pendek Dalam Sholat, Doa Minta Perlindungan Dari Allah, Kisah Wanita Mualaf Yang Mengharukan, Definisi Bersyukur
Artikel asli: https://muslim.or.id/40911-status-daging-sembelihan-di-negeri-non-muslim-bag-1.html